Kamis, 29 Mei 2008

Higroma Kistik

HIGROMA KISTIK

I. SYNONIM

CH, cystic lymphatic lesion, macrocystic lymphatic malformation, hemangiomas, microcystic lymphangioma dan cystic lymphangioma.

II. DEFENISI

Higroma merupakan Moist Tumor dan anomaly dari system limpatik yang ditandai dari single atau multiple kista pada soft tissue. Kebanyakan (sekitar 75 %) higroma kistik terdapat di daerah leher. Kelainan ini antara lain juga dapat ditemukan di aksila, mediastinum dan region inguinalis.

Higroma kistik merupakan benjolan yang berisi cairan yang jernih atau keruh seperti cairan lympe yang diakibatkan oleh blok atau hambatan pada system limpatik. System limpatik merupakan jaringan pembuluh yang menyuplai cairan ke dalam pembuluh darah sebagai transport asam-asam lemak dan sel-sel system immune.

Higroma kistik dapat merupakan kelainan congenital yang dibawa saat lahir ataupun yang terjadi pada masa neonatus. Higroma kistik pada bayi dapat berlanjut ke keadaan hydrops (peningkatan jumlah cairan di dalam tubuh) yang kadang-kadang dapat menyebabkan kematian dan dapat menjadi sangat besar di bandingkan dengan badan bayi/anak.

III. PREVALENSI

Belum banyak data yang menjelaskan, akan tetapi hygroma kistik dapat terjadi antara 1,7:10000 atau sekitar 0,83 % kehamilan mempunyai risiko terjadi anomaly. Higroma kistik ini dapat terjadi kira-kira 1 % pada janin mulai umur kehamilan 9 minggu sampai 16 minggu. Kejadian pada bayi sekitar 50 % - 65 % dan pada anak usia 2 tahun sekitar 80 % - 90 %.


IV. ETIOLOGI

Anyaman pembuluh limfe yang pertama kali terbentuk di sekitar pembuluh vena mengalami dilatasi dan bergabung membentuk jala yang di daerah tertentu akan berkembang menjadi sakus limfatikus. Pada embrio usia 2 bulan, pembentukan sakus primitive telah sempurna. Bila hubungan saluran kea rah sentral tidak terbentuk maka timbullah penimbunan cairan yang akhirnya membentuk kista berisi cairan. Hal ini paling sering terjadi di daerah leher (higroma kistik koli). Kelainan ini dapat meluas ke segala arah seperti ke jaringan sublingualis di mulut.

Higroma kistik dapatterjadi akibat beberapa factor antara lain:

1. Factor lingkungan

Dapat disebabkan oleh infeksi karena virus selama masa kehamilan dan penyalahgunaan zat, obat-obatan dan alkohol. Infeksi pavovirus merupakan yang paling sering terjadi. Ketika virus menginfeksi ibu, maka virus akan masuk ke dalam tubuh dan menyerang ke plasenta dan dapat menyebabkan higroma pada janin.

2. Factor genetic

Mayoritas higroma kistik yang ditemukan pada masa prenatal banyak dihubungkan dengan Syndrom Turner, dimana terjadi abnormalitas pada wanita yang mempunyai satu kromosom X disbanding yang mempunyai dua kromosom X. abnormalitas kromosom termasuk trisome 13, 18, 21 dan 47 XXY juga dapat menyebabkan higroma kistik.

V. PATOLOGI

Pada mulanya bagian dalam kista dilapisi oleh selapis sel endotel dan berisi cairan jernih kekuningan yang sesuai dengan cairan limfe. Pada permukaan ditemukan kista besar yang makin ke dalam menjadi makin kecil seperti buih sabun. Higroma kistik dapat mencapai ukuran yang besar dan menyusup ke otot leher dan daerah sekitarnya seperti faring, laring, mulut dan lidah. Yang terakhir dapat menyebabkan makroglosia.

VI. GAMBARAN KLINIK

Keluhan adalah adanya benjolan di leher yang telah lama atau sejak lahir tanpa nyeri atau keluhan lain. Benjolan ini berbentuk kistik, berbenjol-benjol dan lunak. Permukaannya halus, lepas dari kulit dan sedikit melekat pada jaringan dasar. Kebanyakan terletak di regio trigonum posterior koli. Sebagai tanda khas, pada pemeriksaan transiluminasi positif tampak terang sebagai jaringan diafan (tembus cahaya).

Benjolan ini jarang menimbulkan gejala akut, tetapi suatu saat dapat cepat membesar karena radang dan menimbulkan gejala gangguan pernafasan akibat pendesakan saluran nafas seperti trakea, orofaring maupun laring. Bila terjadi perluasan ke arah mulut dapat timbul gangguan menelan. Perluasan ke aksila dapat menyebabkan penekanan pleksus brakialis dengan berbagai gejala neurologik.

VII. STAGING TUMOR

Stadium tumor dapat di bedakan menjadi 5 stage menurut De Serres, yaitu:

© Stage I : Unilateral infrahyoid (17 % complication rate)

© Stage II : Unilateral suprahyoid (41 % complication rate)

© Stage III :Unilateral and both infrahyoid and suprahyoid (67 % complication rate)

© Stage IV : Bilateral suprahyoid (80 % complication rate)

© Stage V : Bilateral infrahyoid and suprahyoid (100 % complication rate)

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

© CT Scan leher untuk melihat batas area tumor

© MRI dapat dilakuakan dan lebih detail disbanding CT Scan

© Foto leher untuk melihat deviasi tulang servikal akibat desakan tumor

IX. PENATALAKSANAAN

Eksisi total merupakan pilihan utama. Pembedahan dimaksudkan untuk mengambil keseluruhan massa kista. Tetapi bila tumor besar dan telah menyusup ke organ penting seperti trakea, esofagus atau pembuluh darah, ekstirpasi total sulit dikerjakan. Maka penanganannya cukup dengan pengambilan sebanyak-banyaknya kista. Kemudian pasca bedah dilakukan infiltrasi bleomisin subkutan untuk mencegah kambuhan..

Pembedahan sebaiknya dilakukan setelah proide neonatus karena mortalitas akibat pembedahan pada priode neonatus cukup tinggi.

X. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Pre operasi

© Risiko tinggi cedera b/d prosedur bedah; anastesi

© Cemas b/d perpisahan dari sistem pendukung

© Perubahan proses keluarga b/d prosedur pembedahan

b. Post operasi

© Risiko tinggi cedera b/d prosedur bedah; anastesi

© Cemas b/d ketidaknyamanan

© Nyeri b/d tindakan invasif/pembedahan

© Risiko tinggi kekurangan volume cairan b/d status puasa/pembedahan

Risiko tinggi infeksi b/d kondisi tubuh yang lemah; tindakan inva

Minggu, 25 Mei 2008

Hubungan Karateristik Perawat dengan Tingkat Pelaksanaan Protap Pemasangan Infus di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar

Hasil Penelitian
Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 26 November sampai dengan 3 Desember 2007 di IRD RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo. Jumlah sampel adalah 28 responden (Puposive sampling). Lembar kuesioner yang digunakan sebagai alat pengumpul data dari responden diklasifikasikan menjadi 2 data utama, yaitu : data karakteristik perawat dan data tingkat pelaksanaa protap . Adapun data yang berhasil dikumpulkan adalah :
1. Gambaran lokasi penelitian
Lokasi penelitian adalah di Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dimana mempunyai 63 orang tenaga perawat dengan latar belakang pendidikan D-III Keperawatan sebanyak 46 orang dan SPK 12 orang,serta S1 keperawatan 5 orang. Rata-rata kunjungan tiap hari adalah 75 orang. Saat ini RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo selain sebagai rumah sakit rujukan juga merupakan rumah sakit pendidikan.
2. Karakteristik Demografi responden
a. Umur
Adapun umur responden digambarkan seperti dibawah ini :
Gambar 4.1 Diagram Pie Karakteristik Responden Menurut Umur Di IRD RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Bulan November-Desember 2007
Didapat data umur responden terbanyak berusia 20-35 tahun yaitu sebanyak 16 orang (57%) dan sisanya berumur 36-55 tahun sebanyak 12 orang (43%).
b. Jenis kelamin
Adapun distribusi jenis kelamin responden sebagai berikut Didapatkan data bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 18 orang (64%) dan sisanya 10 orang (36%) berjenis kelamin laki-laki.
c. Pelatihan
Adapun data responden berdasarkan Pelatihan sebagai berikut
Didapatkan data bahwa dari 28 responden sebagian besar statusnya sudah pernah menikuti pelatihan dengan yaitu sebanyak 15 orang (54%) dan selebihnya responden belum pernah mengikuti pelatihan sebanyak 13 orang (46%).
d. Tingkat pendidikan
Adapun tingkat pendidikan responden dapat digambarkan sebagai berikut :
Dari data yang sudah didapat terlihat bahwa sebagian besar responden dengan latar belakang pendidikan D-III Keperawatan yaitu sebanyak 16 orang (57%) dan selebihnya berpendidikan SPK sebanyak 12 orang (43%).
e. Masa kerja
Dari data yang didapatkan bahwa responden mempunyai masa kerja terbesar adalah <> 5 tahun sebanyak 12 orang (43%).
3. Karakteristik Kinerja
a. Motivasi
Motivasi dari responden dapat digambarkan sebagai berikut :
nampak bahwa dari 28 responden, motivasi responden Baik yaitu sebanyak 14 orang (50%) dan selebihnya motivasi responden Kurang yaitu sebanyak 14 orang (50%).
b. Kemampuan
Kemampuan Responden dapat digambarkan sebagai berikut; nampak bahwa dari 28 responden, Kemampuan baik adalah sebanyak 20 orang (71 %) dan selebihnya Kemampuan responden yang kurang yaitu sebanyak 8 orang (29 %).

4. Pelaksanaan Protap Pemasangan Infus
Dalam pelaksanaan protap pemasangan infus diidentifikasi dengan membandingkan antara protap yang ada dengan kegiatan yang nyata yang dilaksanakan oleh perawat. Bila £ 50% dari nilai rata-rata maka dianggap tidak Sesuai dengan Protap dan bila > 50% dari nilai rata-rata dianggap Sesuai dengan Protap .
Dari hasil observasi 28 responden didapat hasil bahwa sebagian besar responden Sesuai dengan Protap yaitu sebanyak 18 orang (64%) dan sisanya tidak sesuai dengan protap sebanyak 10 orang (36%).


B. Pembahasan
Pada bagian pembahasan akan diulas mengenai hasil penelitian yang telah dilaksanakan yaitu hubungan antara karakteristik perawat dengan pelaksanaan protap pemasangan infus yang diuji dengan menggunakan uji statistik regresi berganda, dimana akan dianalisa sesuai dengan konsep teori yang telah dibahas pada Bab II.
1. Hubungan umur dengan pelaksanaan protap pemasangan infus
Dari tabel 4.9 menguraikan data mengenai hubungan umur dengan pelaksanaan protap pemasangan infus dimana dapat diperoleh gambaran bahwa umur seseorang tidak mempengaruhi pelaksanaan protap pemasangan infus , umur memiliki hubungan korelasi dengan beberapa faktor misalnya : motivasi dan masa kerja, hal ini terlihat pada tabel korelasi antar variabel independen. Dalam kenyataannya di lapangan tidak semua orang yang berusia muda dalam pelaksanaan protap pemasangan infus tidak sesuai karena menurut data di tabel 4.9 perawat yang berusia muda dalam pelaksanaan protap pemasangan infus ada pula yang sesuai yaitu 7 orang dari total 16 perawat yang berusia muda, dan juga perawat yang berusia tua ada pula yang tidak sesuai dengan protap pemasangan infus yaitu 3 orang dari total 12 perawat yang berusia tua.
Berdasarkan penjelasan diatas, jelaslah bahwa semakin tua usia karyawan maka mereka semakin bertanggung jawab, semakin patuh atau disiplin sehingga produktivitasnyapun semakin tinggi hal ini didukung dengan teori menurut Robbins S.P (2001) yang mengatakan bahwa mereka melihat sejumlah kualitas positif yang dibawa orang tua kedalam pekerjaan mereka, khususnya : pengalaman, pertimbangan etik kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. Selanjutnya Muchlas (1997), mengemukakan bahwa produktivitas karyawan yang sudah lama bekerja disebuah perusahaan artinya sudah bertambah tua, bisa mengalami peningkatan karena pengalaman dan lebih bijaksana dalam pengambilan keputusan.
Dalam kenyataan yang didapat dalam penelitian perawat di IRD RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar tidak sesuai dengan teori yang telah ada. Hal ini didukung dengan hasil uji statistik Spearmans correlations pada kemaknaan 0,05 diperoleh p = 0,105 yang artinya ada hubungan yang signifikan (Ho diterima).
2. Hubungan jenis kelamin dengan pelaksanaan protap pemasangan infus
Dari tampilan data pada tabel 4.10 diatas, menunjukkan bahwa antara responden perempuan dan laki-laki mempunyai tingkat kepatuhan yang hampir sama yaitu : dari 18 orang perempuan sebagian besar (11 orang) diantaranya sesuai dengan protap pemasangan infus dan sisanya 7 orang tidak sesuai. Begitu juga dari 10 orang laki-laki 5 orang diantaranya sesuai dengan protap dan 5 orang sisanya tidak sesuai.
Dengan melihat hasil seperti diatas susah untuk membedakan tingkat kepatuhan dari kedua jenis kelamin. Walaupun kedua jenis kelamin dilatar belakangi oleh beda tingkatan umur, pendidikan, status perkawinan, masa kerja dan motivasi tetapi tidak ada salah satupun variabel tersebut berkorelasi dalam mencari hubungan dengan tingkat kepatuhan. Hal ini disebabkan setiap orang (perawat) bisa menjadi patuh maupun tidak disiplin bila situasinya memungkinkan. Selain itu seseorang dalam belajar, menganalisa, memecahkan masalah dan sebagainya tidak membedakan jenis kelamin, semuanya mempunyai kemampuan maupun kesempatan yang sama. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa sedikit sekali ada perbedaan yang dianggap penting antara karyawan laki-laki dan wanita dalam disiplin kerja untuk mencapai prestasi kerja. Menurut Schwartz & Griffin yang dikutip Bart Smet (1994) mengatakan bahwa setiap orang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan. Lain lagi dengan pendapat Robbins S.P. (2001) mengemukakan tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria-wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau kemampuan belajar. Sementara studi-studi psikologis telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita dalam memiliki pengharapan (ekspektasi) untuk sukses, tetapi perbedaan ini sangat kecil.
Dari beberapa pendapat tersebut, maka hubungan jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan perawat dalam pelaksanaan protap pemasangan infus di IRD RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, tidaklah nampak perbedaan yang jelas. Hal ini didukung dengan hasil uji statistik Spearmans correlations pada kemaknaan 0,05 diperoleh p = 0,586 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan (Ho diterima).
3. Hubungan pelatihan dengan pelaksanaan protap pemasangan infus
Berdasarkan sajian data pada tabel 4.11 menunjukkan bahwa orang yang statusnya sudah mendapatkan pelatihan tidak semua mempunyai pelaksanaan protap pemasangan infus yang baik dibandingkan dengan mereka yang masih belum belum mendapatkan pelatihan. Ini dapat kita lihat dari 15 orang berstatus sudah pelatihan dimana sebagian besar yaitu 5 orang diantaranya tidak sesuai dengan pelaksanaan prota pemasangan infus dan sisanya 10 orang sesuai dengan protap pemasangan infus. Sedangkan 13 orang berstatus belum pelatihan ternyata baru 6 orang yang sesuai dengan pelaksanaan protap pemasangan infus h dan selebihnya yaitu 7 orang tidak sesuai.
Dari pemaparan diatas dapatlah dilihat bahwa ada hubungan antara pelatihan dengan pelaksanaan protap pemasangan infus di IRD RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Hal ini didukung dengan hasil uji statistik Spearmans correlations pada kemaknaan 0,05 diperoleh p = 0,291 yang berarti ada hubungan yang signifikan (Ho diterima).
4. Hubungan pendidikan dengan pelaksanaan protap pemasangan infus
Berdasarkan tabel 4.12, dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan maka tingkat kepatuhannya semakin tinggi. Ini berarti ada hubungan positip dimana dapat dilihat dari 4 orang yang berpendidikan SPK semuanya tidak sesuai denga pelaksanaan protap pemasangan infus. Sedangkan 19 orang berpendidikan D III Keperawatan ternyata cuma 12 orang yg sesuai dengan pelaksanan protap pemasangan infus dan selebihnya 7 orang tidak sesuai protap.Dan juga 5 orang yang berpendidikan S 1 Keperawatan diantaranya 4 orang sesuai dengan pelaksanaan protap pemasangan infus dan sisanya 1 orang tidak sesuai
Adanya perbedaan tingkat pendidikan ditambah dengan latar belakang perbedaan usia, jenis kelamin, pelatihan, masa kerja, motivasi, kemampuan akan mempunyai efek pada perbedaan dalam pelaksanan protap pemasangan infus. Selain karena faktor diatas ketidaksesuaian perawat dalam pelaksanaan protap pemasangan infus juga disebabkan karena masing-masing orang mempunyai perbedaan dalam menerima dan mempersepsikan informasi atau nilai-nilai yang ada dalam protap tersebut untuk dipikirkan, kemudian dipersepsikan dan dilaksanakan. Kemampuan seseorang (perawat) juga berbeda-beda baik dalam mengingat prosedur teknik dan teori yang ada dalam protap pemasangan infus. Hal ini didukung oleh pendapat Kuncoroningrat yang dikutip Nursalam & Siti Pariani (2001) bahwa makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Demikian juga pendapat dari Notoatmojo (1996), bahwa pada umumnya semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Pengetahuan itu sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat fakta, simbul, prosedur teknik dan teori.
Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearmans correlations pada tingkat kemaknaan 0,05 didapatkan hasil p = 0,020 ini berarti Ho ditolak. Dimana hasil uji tersebut dapat diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan pelaksanaan protap pemasangan infus.
5. Hubungan masa kerja dengan pelaksanaan protap pemasangan infus
Tampilan data sesuai dengan tabel 4.13 diatas menunjukkan bahwa masa kerja seseorang tidak selamanya pelaksanaan protap pemasangan infus semakin baik, ini dapat dilihat dari 16 orang yang masa kerjanya <> 5 tahun 9 orang diantaranya sesuai dengan pelaksanaan protap pemasangan infus. Dan sisanya 3 orang tidak sesuai
Menurut Robbin S.P (2001), mengatakan didalam beberapa riset yang konsisten dinyatakan bahwa perilaku masa lalu merupakan peramal yang terbaik bagi perilaku masa datang. Dari pernyataan tersebut dapat diulas bahwa kalau masa lalu perawat sudah terbiasa berperilaku sesuai dengan protap maka kemungkinan besar akan tetap berperilaku sesuai dengan protap pada masa yang akan datang, demikian juga sebaliknya. Sehingga dengan masa kerja yang lama yang diekspresikan dengan pengalaman kerja belum tentu menjamin pelaksanaan protap pemasangan infus baik apabila dari dulu sudah terbiasa berperilaku tidak sesuai.
Dari hasil uji satistik dengan menggunakan uji Spearmans correlations pada tingkat kemaknaan 0,05 didapatkan hasil p = 0,105 ini berarti Ho diterima, sehingga tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan pelaksanaan protap pemasangan infus.
6. Hubungan motivasi dengan pelaksanaan protap pemasangan infus
Berdasarkan tabel 4.14 dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat motivasi perawat maka pelaksanaan potap pemasangan infuse semakin baik. Dimana dapat dilihat dari 14 orang yang motivasinya baik 11 orang sesuai dengan pelaksanaan protap pemasangan infus. Sedangkan dari 14 orang yang motivasinya rendah, hanya 5 orang yang sesuai protap dan selebihnya tidak sesuai.
Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearmans correlations didapatkan hasil p = 0,021 dengan tingkat kemaknaan 0,05 sehingga Ho ditolak. Keadaan ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi dengan pelaksanaan protap pemasangan infus.
Adanya signifikansi hubungan tersebut dikarenakan perawat IRD RSUP Dr. Wahidin Sudirihusodo memiliki motivasi yang baik, motivasi ini timbul karena sebagian besar kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing perawat yang sesuai dengan hirarkhi kebutuhan dasar Maslow hampir terpenuhi, ini terlihat dari jawaban atas pertanyaan pada kuesioner. Sehingga dengan motivasi ini mereka termotivasi untuk melaksanakan kegiatan atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Sesuai dengan pendapat Indriyo G dan I Nyoman Sudita (1997) mengatakan bahwa proses timbulnya motivasi seseorang merupakan gabungan dari konsep kebutuhan, dorongan, tujuan dan imbalan.
Motivasi merupakan rangsangan, dorongan dan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok masyarakat yang mau berbuat dan bekerjasama secara optimal melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Azwar A. 1996). Motivasi yang cukup tinggi dari perawat di IRD RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo mendorong sebagian besar mereka untuk sesuai dalam melaksanakan protap pemasangan infus guna mengusahakan pencapaian mutu pelayanan yang optimal.


7. Kemampuan dengan pelaksanaan protap pemasangan infus
Dari tabel 4.15 diatas, dari 28 responden sebagian besar responden yaitu 20 orang (71%) memiliki kemampuan Baik, dimana 14 orang diantaranya sesuai dengan protap pemasangan infus dan 6 orang tidak sesuai. Sedangkan 8 orang (50%) mempunyai kemampuan kurang, dimana 2 orang diantaranya sesuai dengan protap pemasangan infus dan selebihnya 6 orang tidak sesuai. Dari data diatas telah nampak bahwa kemampuan sangat mempengaruhi dalam pelaksanaan protap pemasangan infus Dengan memakai uji statistik Spearmans correlations pada tingkat kemaknaan 0,05 didapatkan hasil p = 0,030 hal ini berarti Ho ditolak.